Renegosiasi Kontrak


Membaca harian Kompas tanggal 12 September 2014 berjudul Percepat Renegosiasi; yang memberitakan seputar negosiasi kontrak dengan perusahaan-perusahaan asing, yang ingin dilakukan oleh pemerintahan SBY yang saat ini usianya hanya tinggal 1 bulan lagi.


Tak beda ketika renegosiasi Freeport yang saat itu perhatian kita “dialihkan” oleh isu ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) dan pembatasan penjualan BBM. Entah direkayasa atau tidak, kali ini perhatian kita dan para politisi disibukkan oleh gempita isu Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah), ISIS, dan fasilitas mobil Mercedes untuk pejabat, hingga soal pimpinan DPR, maka mengenai renegosiasi ini pun luput dari perhatian.

Sebaiknya Pemerintahan SBY, melalui Chairul Tanjung tidak perlu ngotot untuk mempercepat penyelesaian kontrak ini, tapi justru sebaliknya yaitu menghentikan usaha menyelesaikan hal ini. Mengingat prestasinya yang hanya bisa mendapatkan 3% di kasus Freeport (baca Bocor... Bocoor... Bocooor...!), maka patut diduga bila diteruskan tidak akan bisa melakukan renegosiasi dengan lebih baik terhadap perusahaan-perusahaan asing lainnya. Dan bila hanya demikian maka kita tidak akan bisa bangkit dari keterpurukan!

Apalagi terlihat ada perbedaan cara pandang dalam menjalankan pemerintahan antara pemerintah SBY sekarang dengan pemerintahan Jokowi mendatang. Terlihat seperti soal fasilitas mobil Mercy untuk pemerintah mendatang yang secara tegas ditolak oleh Jokowi dengan alasan efisiensi, di lain pihak Mensesneg Sudi Silalahi sempat ngotot ingin tetap membelinya, dengan mengatakan, "Itu kewajiban kami. Kalau memang mereka enggak pakai, ya silakan.“ (Selasa, 9/9/2014).

Adakah korupsi di sana?

Kalau pun tidak ada korupsi, pembelian mobil itu tetap saja merupakan penghambur-hamburan uang negara. Wajar bila pemerintahan SBY dari RAPBN-nya saja selalu defisit! Padahal utang negara kita di masa pemerintahan SBY sudah mencapai 2100 triliun rupiah lebih!

Siapakah yang akan membayarkan utang tersebut?

Memang tampaknya kita benar-benar harus melakukan Revolusi Mental, karena mental kita sudah terlalu bobrok. Baru bisa berpikir untuk hari ini, belum bisa berpikir jauh ke depan untuk generasi penerus bangsa ini.

Harapan kita tentunya kepada pemerintahan baru harus lebih berani dalam melakukan renegosiasi kontrak dengan pihak asing, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Bolivia, atau Bung Karno dahulu yang berani mengatakan “Go to Hell” kepada Amerika sekali pun.

Ayo kita bersama memulai Revolusi Mental yang diawali dari diri kita sendiri, dengan menjadi manusia yang adil dan beradab.

Adil dan beradab mewujudkan keadilan sosial.

17 September 2014 | samidirijono | arsitek |

Tidak ada komentar

Silakan isi komentar Anda di sini, jangan lupa sertakan nama atau e-mail

Diberdayakan oleh Blogger.