Bocor... Bocoor... Bocooor...!


Mungkin kita belum lupa dengan BOCOR, kata yang acap kali diucapkan oleh Prabowo Subianto salah satu calon presiden saat kampanye pemilihan presiden kemarin.

Tapi tampaknya hiruk-pikuk ISIS, pembatasan penjualan BBM solar dan premium menenggelamkan berita MOU antara Pemerintahan SBY dan Freeport, di mana Pemerintah, dalam hal ini diwakili oleh Chairul Tanjung telah merasa bangga dapat menaikkan pembagian royalti dari 1% menjadi 3% atau 4%.  Suatu nilai yang sebetulnya sangat jauh dari rasa keadilan bagi rakyat Indonesia. Sebagai pemilik kekayaan alam tidak seharusnya kita mendapat bagian yang sedemikian kecilnya.


Kenaikan dari 1% ke 3% dilanjutkan dengan pembatasan penjualan BBM jenis solar dan premium di berbagai wilayah di Indonesia. Tentunya hal ini dapat menimbulkan spekulasi atau pertanyaan tentang apakah pembatasan penjualan ini ada hubungannya dengan penandatanganan MOU itu? Apakah kita mendapat tekanan saat penandatanganan perjanjian dengan Freeport itu? Atau apakah pembatasan penjualan BBM itu untuk mengalihkan perhatian masyarakat atas perjanjian itu? Kasus ditutup kasus, merupakan cara-cara yang biasa digunakan sejak masa Orde Baru hingga kini.

Dengan negosiasi ulang (renegosiasi) yang hanya bisa mencapai 3%, rasanya Chairul Tanjung “Si Anak Singkong” belum pantas untuk bisa diajukan kembali sebagai menteri pada pemerintahan berikut. Masih sangatlah jauh keberpihakannya pada negeri tercinta kita kalau hanya bisa berbuat demikian.


Hampir setengah abad sejak 1967, Freeport menikmati kekayaan alam kita yang kini luasannya melebihi kawasan Monas, tapi apa yang sudah kita dapatkan? 1% x 47 tahun jauh sekali dibanding dengan 99% x 47 tahun yang sudah mereka dapatkan.

Tampaknya kita Indonesia harus banyak belajar teladan dari Presiden Venezuela Hugo Chaves, Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad, atau Presiden Bolivia Evo Morales yang membangun negara untuk kemakmuran rakyatnya.

Tiru keberanian Evo Morales, presiden Bolivia dalam kebijakannya menangani para pemodal asing di negaranya, di mana yang tadinya perusahaan hanya membayar 18% dari keuntungan mereka untuk negara, dibalik menjadi 82% dari untuk negara dan 18% untuk perusahaan (sumber wikipedia).

Atau..., kita harusnya mengikuti amanah Presiden Soekarno, bahwa kalau kita belum bisa mengolah kekayaan alam kita sendiri, biarkan itu tetap di dalam tanah!

Sangat tegas amanah Bung Karno dalam hal kekayaan alam kita, yang tentunya demi kemaslahatan bangsa ini, untuk kita dan anak-cucu yang merupakan generasi penerus bangsa kita! Bahwa kita harus belajar mengolah kekayaan alam kita sendiri, bukan menyerahkan kepada pihak asing, apalagi dengan hanya sebatas 3-4% royalti yang kita dapatkan.

Harapan kepada pemerintah baru, harus berani mengubah itu dengan membuat kebijakan yang lebih baik, dimulai dari Freeport dengan pembagian minimum 40-60% bagi Indonesia, dan dilanjutkan dengan mengevaluasi kontrak-kontrak yang lain yang merugikan negara dan bangsa kita.

Atau hal ini akan menjadi batu sandungan di pemilu yang akan datang, seperti yang kerap dituduhkan sepanjang pemilu kemarin kepada pemerintahan Megawati terhadap kasus BLBI dan sengketa Sipadan-Ligitan sebagai kelemahannya, yang berdalih hanya melanjutkan kebijakan pemerintahan sebelumnya.

Karena hanya melalui perubahan kebijakan, paling tidak ini akan bisa ikut membantu menyejahterakan rakyat, bukan justru tiap kali rakyat yang harus menanggung beban akibat kebijakan yang salah dan rakyat yang ditekan dengan kenaikan harga atau pun dengan pembatasan BBM atau semacamnya, seperti yang terjadi sekarang ini!

Belajar menjadi bangsa berdaulat yang berdiri di atas kaki sendiri (berdikari).


7 Agustus 2014 | samidirijono | arsitek |

Tidak ada komentar

Silakan isi komentar Anda di sini, jangan lupa sertakan nama atau e-mail

Diberdayakan oleh Blogger.