Arsitektur Sebagai Pembentuk Karakter Bangsa
Demikian judul diskusi yang digelar oleh Urbanus pada tanggal 27 April 2011.
Menarik memang mengikuti paparan dari arsitek Prof. Josef Prijotomo khususnya dan budayawan Taufik Rahzen yang dipandu oleh Rizal Syarifuddin.
Dalam pengantar awal dijelaskan Rizal, bahwa istilah karakter bangsa yang dipinjam dari antropologi selalu mengandaikan sebuah perubahan yang bersifat evolusi, meski demikian bukan berarti kita tidak bisa menandai karakter suatu bangsa.
Karya arsitektur merupakan karya kolektif yang tidak hanya melibatkan arsitek sebagai perancang tapi juga pemberi tugas, pengguna, penyedia bahan, media massa, dan sebagainya. Dan itu menjadi premis awal bahwa karya arsitektur bisa dijadikan alat untuk melihat suatu bangsa.
Prof. Josef membuka cakrawala peserta dengan kalimat bernada miris, "Matinya arsitektur tradisional Indonesia" dan dia pun mengembalikan arsitektur tradisional ke ranah arkeologi dan budaya.
Namun, matinya arsitektur tradisional Indonesia juga dibarengi dengan lahirnya arsitektur nusantara.
Mengingat bangunan kita sejak dahulu sudah sustainable, maka kata-kata genius loci atau kearifan lokal menurutnya adalah sebuah istilah yang justru dibuat untuk merendahkan kita. Yang betul itu cerlangtara (kecemerlangan nusantara) bukan kearifan lokal!
Adakah arsitektur tradisional Amerika atau Eropa? Lantas kenapa arsitektur kita yang pada umumnya terbuat dari kayu itu selalu disebut arsitektur tradisional?
Kekakuan beton tentu berbeda dengan kelenturan kayu. Perbedaan arsitektur kita dengan mereka harusnya menyadarkan kita untuk menggali dan mengembangkan arsitektur kita sendiri yang disebutnya sebagai arsitektur nusantara.
Berangkat dari situ maka kita harus berani menyejajarkan arsitektur kita dengan arsitektur asing!
Perbedaan yang mendasar yaitu arsitektur nusantara bukanlah tempat untuk berlindung tapi tempat untuk bernaung.
Menurut Prof. Josef, apa yang dipelajari di mata kuliah arsitektur tentang ruang pun kurang tepat. Yang benar bukan ruang tapi ruangan. RUANGAN berkait dengan rupa dan bentuk, sedangkan RUANG hanya ada di alam pikir kita.
Rupa dan bentuk itulah yang dapat kita cari dan kembangkan sebagai karakter bangsa yang meng-internasional.
Keberanian Presiden Sukarno menggunakan putra-putri Indonesia sendiri dalam membangun gedung-gedung seperti Monas, masjid Istiqlal, gedung Conefo (sekarang MPR/DPR) —di masa awal setelah kemerdekaan kita raih—adalah demi mengangkat harkat dan harga diri sebagai bangsa.
Baik arsitek, ahli struktur, mau pun para pekerja dipercayakan penuh kepada rakyatnya sendiri.
Sukarno membakar semangat rakyat dengan karya-karya arsitektur yang hebat dan tidak lekang oleh zaman. Kata-katanya bahwa kita jangan hanya menjadi bangsa tempe, dibuktikan dengan keberhasilan kita membangun gedung-gedung yang megah karya bangsa sendiri.
Taufik Rahzen menjelaskan bahwa 1000 tahun yang lalu di masa Raja Udayana, tepatnya pada tahun 1011 kita pun telah punya seorang arsitek, yakni Empu Kuturan.
Dialah yang diyakini mengembangkan mengenai skala dan niskala yang digunakan dalam arsitektur Bali, atau yang orang barat sekarang sebut dengan istilah explicate dan implicate, yang juga bisa dimaknai sebagai ruangan dan ruang.
Taufik mengamati bahwa arsitek kita sekarang terlalu sibuk dengan aspek estetik sehingga lupa dengan karakter ruangan yang dapat digunakan untuk menggali karakter bangsa yang sesungguhnya.
Kesadaran sebuah bangsa dimunculkan oleh karya arsitekturnya.
27 April 2011 | samidirijono | arsitek |
Menarik memang mengikuti paparan dari arsitek Prof. Josef Prijotomo khususnya dan budayawan Taufik Rahzen yang dipandu oleh Rizal Syarifuddin.
Dalam pengantar awal dijelaskan Rizal, bahwa istilah karakter bangsa yang dipinjam dari antropologi selalu mengandaikan sebuah perubahan yang bersifat evolusi, meski demikian bukan berarti kita tidak bisa menandai karakter suatu bangsa.
Karya arsitektur merupakan karya kolektif yang tidak hanya melibatkan arsitek sebagai perancang tapi juga pemberi tugas, pengguna, penyedia bahan, media massa, dan sebagainya. Dan itu menjadi premis awal bahwa karya arsitektur bisa dijadikan alat untuk melihat suatu bangsa.
Prof. Josef membuka cakrawala peserta dengan kalimat bernada miris, "Matinya arsitektur tradisional Indonesia" dan dia pun mengembalikan arsitektur tradisional ke ranah arkeologi dan budaya.
Namun, matinya arsitektur tradisional Indonesia juga dibarengi dengan lahirnya arsitektur nusantara.
Mengingat bangunan kita sejak dahulu sudah sustainable, maka kata-kata genius loci atau kearifan lokal menurutnya adalah sebuah istilah yang justru dibuat untuk merendahkan kita. Yang betul itu cerlangtara (kecemerlangan nusantara) bukan kearifan lokal!
Adakah arsitektur tradisional Amerika atau Eropa? Lantas kenapa arsitektur kita yang pada umumnya terbuat dari kayu itu selalu disebut arsitektur tradisional?
Kekakuan beton tentu berbeda dengan kelenturan kayu. Perbedaan arsitektur kita dengan mereka harusnya menyadarkan kita untuk menggali dan mengembangkan arsitektur kita sendiri yang disebutnya sebagai arsitektur nusantara.
Berangkat dari situ maka kita harus berani menyejajarkan arsitektur kita dengan arsitektur asing!
Perbedaan yang mendasar yaitu arsitektur nusantara bukanlah tempat untuk berlindung tapi tempat untuk bernaung.
Menurut Prof. Josef, apa yang dipelajari di mata kuliah arsitektur tentang ruang pun kurang tepat. Yang benar bukan ruang tapi ruangan. RUANGAN berkait dengan rupa dan bentuk, sedangkan RUANG hanya ada di alam pikir kita.
Rupa dan bentuk itulah yang dapat kita cari dan kembangkan sebagai karakter bangsa yang meng-internasional.
Keberanian Presiden Sukarno menggunakan putra-putri Indonesia sendiri dalam membangun gedung-gedung seperti Monas, masjid Istiqlal, gedung Conefo (sekarang MPR/DPR) —di masa awal setelah kemerdekaan kita raih—adalah demi mengangkat harkat dan harga diri sebagai bangsa.
Baik arsitek, ahli struktur, mau pun para pekerja dipercayakan penuh kepada rakyatnya sendiri.
Sukarno membakar semangat rakyat dengan karya-karya arsitektur yang hebat dan tidak lekang oleh zaman. Kata-katanya bahwa kita jangan hanya menjadi bangsa tempe, dibuktikan dengan keberhasilan kita membangun gedung-gedung yang megah karya bangsa sendiri.
Taufik Rahzen menjelaskan bahwa 1000 tahun yang lalu di masa Raja Udayana, tepatnya pada tahun 1011 kita pun telah punya seorang arsitek, yakni Empu Kuturan.
Dialah yang diyakini mengembangkan mengenai skala dan niskala yang digunakan dalam arsitektur Bali, atau yang orang barat sekarang sebut dengan istilah explicate dan implicate, yang juga bisa dimaknai sebagai ruangan dan ruang.
Taufik mengamati bahwa arsitek kita sekarang terlalu sibuk dengan aspek estetik sehingga lupa dengan karakter ruangan yang dapat digunakan untuk menggali karakter bangsa yang sesungguhnya.
Kesadaran sebuah bangsa dimunculkan oleh karya arsitekturnya.
27 April 2011 | samidirijono | arsitek |
Leave a Comment