Wisata Budaya Tugu
Kampung Tugu yang berada di kawasan Cilincing, Jakarta Utara berawal dari pertengahan abad ke-17 sebagai tempat komunitas Portugis di Nusantara yang kalah perang melawan Belanda di tahun 1641.
Tidak ada catatan sejarah yang pasti mengenai keberadaan kampung tugu ini, ia hanya diceritakan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Meski ada berbagai versi cerita tentang awal keberadaan masyarakat Tugu, namun Arthur Michiels, generasi kesepuluh keturunan Portugis yang tinggal di sana memercayai bahwa masyarakat Tugu ini berawal di tahun 1661. Di tahun itu 23 kepala keluarga yang berjumlah 150-an jiwa membuka hutan di sebelah timur Sunda Kelapa sebagai tempat bersembunyi dari pasukan Belanda.
Gereja dan Kuburan
Tempat persembunyian ini kemudian ditemukan pendeta Melchior Leydecker pada tahun 1675. Lydecker kemudian menyebarkan agama Protestan di sana. Komunitas Portugis yang semula beragama Katolik pun pada akhirnya menjadi pemeluk Protestan. Pada sekitar tahun 1678 didirikanlah gereja pertama yang juga berfungsi sebagai sekolah.
Gereja itu terbakar akibat kerusuhan dan pada tahun 1744 dibangunlah gereja baru. Selesai pembangunan, pada tahun 1748 gereja ditasbihkan pendeta J.M. Mohr dan digunakan sampai sekarang.
Pada perkembangan selanjutnya, di sisi barat laut bangunan gereja dijadikan tempat pemakaman. Kuburan itu masih digunakan hingga kini, namun sayang kondisi makam saat ini tidak tertata dengan baik dan kurang terawat. Tanaman liar banyak tumbuh di sana-sini, makam pun sudah banyak yang rusak, dan batu nisan sudah banyak pula yang hilang.
Lokasi area gereja yang diapit oleh jalan Tugu Raya dan kali Cakung dapat menjadi tempat wisata yang menarik bila mau dipelihara dan ditata dengan baik. Apalagi mengingat tempat ini berdasarkan Perda DKI Jakarta No. 9 tahun 1999 telah dimasukkan sebagai Benda Cagar Budaya.
Komunitas dan Keroncong Tugu
Orang Portugis di masa itu bukan hanya senang mendengarkan musik, tapi juga pandai memainkan alat musik. Mereka senang berkumpul untuk bermain musik dan bernyanyi bersama.
Sayangnya di awal masa persembunyian dulu hanya beberapa alat musik saja yang sempat terbawa. Sebagian dari mereka terpaksa membuat alat musiknya sendiri, untuk kemudian berkumpul dan bermusik bersama. Selain untuk pemenuhan kebutuhan rohani mereka, bermusik juga berfungsi untuk hiburan dan bersosialisasi. Musik yang mereka mainkan ini kemudian berkembang dan kita kenal sekarang sebagai musik Keroncong Tugu.
Keroncong Tugu terus dimainkan secara turun-temurun oleh komunitas ini sampai ke generasi Arthur Michiels dan Andre J. Michiels, kakak Arthur yang menjadi ketua komunitas Tugu saat ini. Bahkan anak-anak mereka yang merupakan generasi kesebelas pun sudah pandai memainkan kesenian ini.
“Saya dulu ditertawakan oleh teman-teman, nama Arthur kok main keroncong” kata Arthur. Namun ia yang dahulu kesal karena dipaksa bapaknya bermain keroncong, akhirnya bersyukur sebab dengan bermain keroncong kini ia bisa keliling dunia untuk memenuhi panggilan “ngamen” di berbagai negara.
Arthur dan Andre pun bangga karena Keroncong Tugu diakui sebagai kesenian asli betawi. Rasanya pengakuan itu pun tidak salah, mengingat berdasarkan keputusan pemerintah kolonial Belanda No. 20 tertanggal 1 Januari 1840, komunitas keturunan Portugis dimasukkan dalam komunitas bumiputra (Betawi).
Suku, budaya, atau agama boleh beda tapi kita telah bersepakat, bahwa berbangsa satu bangsa Indonesia
24 September 2010 | samidirijono | arsitek |
[Tulisan ini dibuat untuk tugas reportase di workshop jurnalistik Penulisan Artikel Wisata dan Budaya bagi “Kader” (Stakeholder) Jaringan Kota Pusaka yang diselenggarakan oleh Jaringan Kota Pusaka Indonesia.]
Leave a Comment