Museum Bahari di Jakarta
Museum Bahari terletak di daerah Kampung Luar Batang, wilayah Sunda Kelapa atau tepatnya di jalan Pasar Ikan No.1, Jakarta. Museum ini dahulu difungsikan untuk gudang penyimpan rempah-rempah yang terdiri dari beberapa bangunan, mulai dibangun sekitar tahun 1700-an atau awal abad ke-18.
Menghitung usia bangunan yang sudah 300-an tahun ini sangat wajar bila terlihat bangunan museum saat ini sudah tidak lagi dalam kondisi prima. Cat dinding sudah mengelupas di mana-mana, kayu-kayu konstruksi sudah banyak yang keropos dimakan rayap, penutup atap yang sudah diganti keramik pun tampak tidak lurus lagi.
Banyak hal lain yang juga mempengaruhi kondisi bangunan yang kian mundur ini. Perubahan iklim menjadi salah satu faktor yang ikut mempengaruhi bahan bangunan yang telah mencapai ratusan tahun ini. Kondisi permukaan air laut yang terus naik dan daratan yang secara perlahan terus turun, belum lagi ditambah kendaraan-kendaraan berat yang lewat di daerah itu menimbulkan adanya getaran yang berdampak pada bangunan dan lingkungan secara keseluruhan.
Merawat bangunan tua tentunya memerlukan biaya yang tidak sedikit, apalagi bangunan-bangunan di zaman dahulu hampir rata-rata mempunyai bentuk yang tinggi dan besar seperti yang ada di kompleks museum ini, yang berarti mempunyai lantai, plafon, dan dinding dengan permukaan yang sangat luas sehingga menyebabkan biaya perawatan menjadi tinggi.
Kayu-kayu untuk konstruksi bangunan yang berukuran dari 30 hingga 50 cm masih banyak dan bisa kita jumpai di sana, meski terlihat sudah banyak juga di antara kayu-kayu ini yang telah keropos dimakan rayap atau pun yang harus dipotong karena lapuk.
Mempertahankan bangunan tua karena nilai kesejarahannya memerlukan biaya yang tidak sedikit. Nilai kesejarahan yang dimaksud tentunya bukan untuk memperlihatkan bahwa bangsa ini pernah sangat lama dijajah, bukan pula untuk membuat kita minder karena pernah dijajah, tapi ini justru harus bisa digunakan sebagai peringatan dan cambuk untuk bangkit dan tetap bersatu agar kesalahan leluhur kita terdahulu yang tercerai-berai mementingkan kelompok atau diri sendiri sehingga mudah dijajah tidak terulang kembali.
Nilai kesejarahan lain yang bisa diambil salah satunya adalah nilai sejarah perkembangan arsitektur--bangunan, lingkungan, dan kota--sebagai pembelajaran kita dalam menata ke depan. Arsitektur senantiasa berjalan bersamaan dengan peradaban, arsitektur membuat kita dengan mudah mengenali peradaban dari suatu bangsa.
Kita juga bisa mempelajari mana yang baik dari semua yang telah pernah dilaksanakan. Dari bentuk bangunan atau lingkungan yang sederhana hingga menjadi sebuah kota yang semerawut seperti Jakarta, tentunya dapat dijadikan bekal agar kita tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Sebagai aset pariwisata, dengan tidak mengubah bentuk aslinya, fungsi kawasan dan bangunan lama jika perlu bisa diubah, agar punya nilai tambah dan tetap dapat berfungsi.
Nilai tambah bukan berarti dia harus bisa menghidupi dirinya sendiri apalagi kawasannya. Sebagai bangunan atau kawasan mungkin dia tidak punya potensi untuk menghidupi dirinya sendiri, namun jika dimasukkan dalam skala perkotaan justru dia berpotensi menghidupi kotanya. Alasan dia tetap harus dihidupi oleh kota bahkan negara dikarenakan secara keseluruhan nilai devisa yang masuk yang dihasilkan dari kunjungan turis yang masuk ke suatu kota atau negara itu sangat besar, inilah makna gotong royong.
Karena itu pengelola negara dan kota di Indonesia ini harus mulai berpikir cerdas guna mengelola pariwisata, mulai dari memelihara objek pariwisatanya hingga mengatur perjalanan kunjungan turis saat berwisata.
| 16 Mei 2010 | samidirijono | arsitek |
Menghitung usia bangunan yang sudah 300-an tahun ini sangat wajar bila terlihat bangunan museum saat ini sudah tidak lagi dalam kondisi prima. Cat dinding sudah mengelupas di mana-mana, kayu-kayu konstruksi sudah banyak yang keropos dimakan rayap, penutup atap yang sudah diganti keramik pun tampak tidak lurus lagi.
Banyak hal lain yang juga mempengaruhi kondisi bangunan yang kian mundur ini. Perubahan iklim menjadi salah satu faktor yang ikut mempengaruhi bahan bangunan yang telah mencapai ratusan tahun ini. Kondisi permukaan air laut yang terus naik dan daratan yang secara perlahan terus turun, belum lagi ditambah kendaraan-kendaraan berat yang lewat di daerah itu menimbulkan adanya getaran yang berdampak pada bangunan dan lingkungan secara keseluruhan.
Merawat bangunan tua tentunya memerlukan biaya yang tidak sedikit, apalagi bangunan-bangunan di zaman dahulu hampir rata-rata mempunyai bentuk yang tinggi dan besar seperti yang ada di kompleks museum ini, yang berarti mempunyai lantai, plafon, dan dinding dengan permukaan yang sangat luas sehingga menyebabkan biaya perawatan menjadi tinggi.
Kayu-kayu untuk konstruksi bangunan yang berukuran dari 30 hingga 50 cm masih banyak dan bisa kita jumpai di sana, meski terlihat sudah banyak juga di antara kayu-kayu ini yang telah keropos dimakan rayap atau pun yang harus dipotong karena lapuk.
Mempertahankan bangunan tua karena nilai kesejarahannya memerlukan biaya yang tidak sedikit. Nilai kesejarahan yang dimaksud tentunya bukan untuk memperlihatkan bahwa bangsa ini pernah sangat lama dijajah, bukan pula untuk membuat kita minder karena pernah dijajah, tapi ini justru harus bisa digunakan sebagai peringatan dan cambuk untuk bangkit dan tetap bersatu agar kesalahan leluhur kita terdahulu yang tercerai-berai mementingkan kelompok atau diri sendiri sehingga mudah dijajah tidak terulang kembali.
Nilai kesejarahan lain yang bisa diambil salah satunya adalah nilai sejarah perkembangan arsitektur--bangunan, lingkungan, dan kota--sebagai pembelajaran kita dalam menata ke depan. Arsitektur senantiasa berjalan bersamaan dengan peradaban, arsitektur membuat kita dengan mudah mengenali peradaban dari suatu bangsa.
Kita juga bisa mempelajari mana yang baik dari semua yang telah pernah dilaksanakan. Dari bentuk bangunan atau lingkungan yang sederhana hingga menjadi sebuah kota yang semerawut seperti Jakarta, tentunya dapat dijadikan bekal agar kita tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Sebagai aset pariwisata, dengan tidak mengubah bentuk aslinya, fungsi kawasan dan bangunan lama jika perlu bisa diubah, agar punya nilai tambah dan tetap dapat berfungsi.
Nilai tambah bukan berarti dia harus bisa menghidupi dirinya sendiri apalagi kawasannya. Sebagai bangunan atau kawasan mungkin dia tidak punya potensi untuk menghidupi dirinya sendiri, namun jika dimasukkan dalam skala perkotaan justru dia berpotensi menghidupi kotanya. Alasan dia tetap harus dihidupi oleh kota bahkan negara dikarenakan secara keseluruhan nilai devisa yang masuk yang dihasilkan dari kunjungan turis yang masuk ke suatu kota atau negara itu sangat besar, inilah makna gotong royong.
Karena itu pengelola negara dan kota di Indonesia ini harus mulai berpikir cerdas guna mengelola pariwisata, mulai dari memelihara objek pariwisatanya hingga mengatur perjalanan kunjungan turis saat berwisata.
| 16 Mei 2010 | samidirijono | arsitek |
Leave a Comment