Aksi Demo Mahasiswa
Entah sejak kapan dan siapa yang memulai yang pasti demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa belakangan ini kurang mendapatkan simpati dari masyarakat. Seperti ada yang mengatur semua ini dengan memanfaatkan emosi para mahasiswa dan tampaknya usaha ini memang membuahkan hasil yakni publik tidak begitu bersimpati dengan gerakan mahasiswa. Sungguh berbeda dengan ketika gerakan mahasiswa yang terjadi di tahun 1998 yang pada puncaknya dapat menjatuhkan Suharto dari pucuk pimpinan negeri ini setelah tidak kurang dari 32 tahun berkuasa.
Simpati publik mengalir dengan deras ketika itu. Kejatuhan Soeharto pun sudah dapat diprediksi dengan tewasnya 4 mahasiswa dalam peristiwa 12 Mei 1998, mengingat hal yang sama terjadi ketika seorang mahasiswa tewas dalam demonstrasi di tahun 1966. Sepertinya sejarah selalu berulang, perjuangan sepertinya selalu punya tumbalnya sendiri. Kerusuhan di berbagai kota yang terjadi menyusul tewasnya para mahasiswa itu tampak seperti sudah diskenariokan, di mana saat itu tidak terlihat satu pun polisi maupun tentara di jalan-jalan. Masih terbayang dalam ingatan manakala kerusuhan yang terjadi di tanggal 14 Mei 1998, yang hampir semua titik-titik kerusuhan saat itu diawali dengan pembakaran ban. Entah dari mana datangnya, sekonyong-konyong banyak sekali terdapat ban-ban kendaraan di jalanan yang kemudian di bakar, yang tidak berselang lama penjarahan mau pun pembakaran kendaraan dan gedung terjadi di sana. Siapakah yang memasok ban? Siapakah yang memulai penjarahan dan pembakaran? Tidak pernah terjawab hingga hari ini.
Tampaknya mahasiswa harus mengatur kembali strategi perjuangannya bila ingin berhasil di dalam memperjuangkan idealisme mereka. Cara-cara simpatik harus digunakan agar tidak mudah terprovokasi ke dalam kegiatan yang tidak akan menarik simpati publik. Membakar ban dalam aksi demo bukanlah akan membawa kebaikan, bahkan akan dijauhi oleh publik, sebagaimana dapat kita saksikan dalam beberapa tahun belakangan ini. Publik tidak lagi bersimpati, bahkan secara psikologis pun publik masih trauma mengingat peristiwa pembakaran dan kerusuhan yang terjadi di berbagai kota pada Mei 1998 dan setelahnya. Bila dicermati itu pulalah salah satu penyebab mengapa pada waktu yang lalu demonstrasi mahasiswa terhadap kenaikan harga BBM tidak pernah mencapai hasil yang memuaskan.
Jadi mahasiswa sekarang tampaknya harus mempelajari kembali sejarah perjuangan mahasiswa yang lalu bila ingin mendapatkan simpati publik, atas apa yang ingin diperjuangkan. Sebagaimana istilah "Jas Merah" yang sering didengung-dengungkan oleh Bung Karno, yakni Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah!
Mahasiswa harus menggunakan cara-cara yang elegan dalam menyampaikan aspirasi agar tidak mudah terprovokasi oleh pihak-pihak yang memang ingin meredam aksi mereka. Karena sekali terprovokasi maka akan padamlah perjuangan menuju cita-cita yang diinginkan.
Gerakan mahasiswa di tahun 1974 pupus akibat provokasi semacam ini yang kita kenal sebagai peristiwa Malari. Berbeda dengan di tahun 1998 gerakan mahasiswa cukup solid dan tidak mudah terprovokasi pada saat peristiwa 14-15 Mei terjadi, sehingga mereka tidak dapat dijadikan kambing hitam oleh penguasa saat itu.
Soliditas dan jaringan perlu diperkuat mengingat luas wilayah tanah air kita yang terdiri dari beribu-ribu kepulauan ini, dengan beragam suku, agama, dan kepentingan yang ada.
Harapan publik atas gerakan mahasiswa adalah agar mereka dengan tingkat intelektualitasnya senantiasa dapat lebih jernih dan independen dalam melihat permasalahan yang terjadi di negerinya, dan mengadakan perubahan menuju perbaikan demi tercapainya cita-cita kemerdekaan, yakni masyarakat yang adil dan makmur.
Secara umum berlangsungnya demonstrasi serentak di berbagai penjuru tanah air kemarin dengan damai diharapkan bisa mengangkat kembali citra perjuangan mahasiswa di mata publik. Dari pada bakar ban lebih baik bakar jagung saja.
Mahasiswa, murnikan gerakanmu demi tujuan dan cita-cita perjuanganmu.
| 29 Januari 2010 | samidirijono |
(foto diambil dari VivaNews-Tri Saputro)
Simpati publik mengalir dengan deras ketika itu. Kejatuhan Soeharto pun sudah dapat diprediksi dengan tewasnya 4 mahasiswa dalam peristiwa 12 Mei 1998, mengingat hal yang sama terjadi ketika seorang mahasiswa tewas dalam demonstrasi di tahun 1966. Sepertinya sejarah selalu berulang, perjuangan sepertinya selalu punya tumbalnya sendiri. Kerusuhan di berbagai kota yang terjadi menyusul tewasnya para mahasiswa itu tampak seperti sudah diskenariokan, di mana saat itu tidak terlihat satu pun polisi maupun tentara di jalan-jalan. Masih terbayang dalam ingatan manakala kerusuhan yang terjadi di tanggal 14 Mei 1998, yang hampir semua titik-titik kerusuhan saat itu diawali dengan pembakaran ban. Entah dari mana datangnya, sekonyong-konyong banyak sekali terdapat ban-ban kendaraan di jalanan yang kemudian di bakar, yang tidak berselang lama penjarahan mau pun pembakaran kendaraan dan gedung terjadi di sana. Siapakah yang memasok ban? Siapakah yang memulai penjarahan dan pembakaran? Tidak pernah terjawab hingga hari ini.
Tampaknya mahasiswa harus mengatur kembali strategi perjuangannya bila ingin berhasil di dalam memperjuangkan idealisme mereka. Cara-cara simpatik harus digunakan agar tidak mudah terprovokasi ke dalam kegiatan yang tidak akan menarik simpati publik. Membakar ban dalam aksi demo bukanlah akan membawa kebaikan, bahkan akan dijauhi oleh publik, sebagaimana dapat kita saksikan dalam beberapa tahun belakangan ini. Publik tidak lagi bersimpati, bahkan secara psikologis pun publik masih trauma mengingat peristiwa pembakaran dan kerusuhan yang terjadi di berbagai kota pada Mei 1998 dan setelahnya. Bila dicermati itu pulalah salah satu penyebab mengapa pada waktu yang lalu demonstrasi mahasiswa terhadap kenaikan harga BBM tidak pernah mencapai hasil yang memuaskan.
Jadi mahasiswa sekarang tampaknya harus mempelajari kembali sejarah perjuangan mahasiswa yang lalu bila ingin mendapatkan simpati publik, atas apa yang ingin diperjuangkan. Sebagaimana istilah "Jas Merah" yang sering didengung-dengungkan oleh Bung Karno, yakni Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah!
Mahasiswa harus menggunakan cara-cara yang elegan dalam menyampaikan aspirasi agar tidak mudah terprovokasi oleh pihak-pihak yang memang ingin meredam aksi mereka. Karena sekali terprovokasi maka akan padamlah perjuangan menuju cita-cita yang diinginkan.
Gerakan mahasiswa di tahun 1974 pupus akibat provokasi semacam ini yang kita kenal sebagai peristiwa Malari. Berbeda dengan di tahun 1998 gerakan mahasiswa cukup solid dan tidak mudah terprovokasi pada saat peristiwa 14-15 Mei terjadi, sehingga mereka tidak dapat dijadikan kambing hitam oleh penguasa saat itu.
Soliditas dan jaringan perlu diperkuat mengingat luas wilayah tanah air kita yang terdiri dari beribu-ribu kepulauan ini, dengan beragam suku, agama, dan kepentingan yang ada.
Harapan publik atas gerakan mahasiswa adalah agar mereka dengan tingkat intelektualitasnya senantiasa dapat lebih jernih dan independen dalam melihat permasalahan yang terjadi di negerinya, dan mengadakan perubahan menuju perbaikan demi tercapainya cita-cita kemerdekaan, yakni masyarakat yang adil dan makmur.
Secara umum berlangsungnya demonstrasi serentak di berbagai penjuru tanah air kemarin dengan damai diharapkan bisa mengangkat kembali citra perjuangan mahasiswa di mata publik. Dari pada bakar ban lebih baik bakar jagung saja.
Mahasiswa, murnikan gerakanmu demi tujuan dan cita-cita perjuanganmu.
| 29 Januari 2010 | samidirijono |
(foto diambil dari VivaNews-Tri Saputro)
Leave a Comment