Arsitektur dan Relasi Kekuasaan

Apakah arsitektur telah diperalat oleh kekuasaan atau kekuasaan dimanfaatkan untuk melahirkan ide-ide arsitektur?

Arsitektur ada hubungannya dengan kekuasaan adalah suatu hal yang tak bisa dipungkiri, demikian diungkap Rizal Syarifuddin saat memandu diskusi Arsitektur dan Relasi Kekuasaan pada tanggal 27 Mei 2011.

Diskusi ini bila dikaitkan dengan keputusan penghentian pembangunan gedung DPR atau wacana pemindahan ibu kota, menurutnya bisa jadi salah satu contoh kasus menarik berkenaan dengan tema diskusi yang menampilkan narasumber Taufik Rahzen dan Sutrisno Murtiyoso.

Masa kini adalah kegiatan sosial politik yang tengah berlangsung, sehingga belum cukup jelas di mata Sutrisno Murtiyoso, apalagi pengaruh kepentingan dan sikap kita masih bergumul di dalamnya. Karena itu dia hanya mengupas dari sisi pengetahuannya di sejarah arsitektur.

Dalam sejarah kita, tiap kali terjadi pergantian kekuasaan maka ibu kota pun pindah. Ibu kota selalu mengikuti tempat tinggal rajanya. Hal ini berbeda dengan pelabuhan yang tidak semudah itu berpindah.

Malaka pada awal abad ke-15 tercatat sebagai kota metropolis, lalu Banten dan Makassar yang merupakan kota metropolis internasional.

Jalinan sistem kekuasaan dan arsitektur kota kita pada masa lalu itu membentuk tradisi arsitektur kota yang berbeda dengan yang kita alami sekarang. Pergantian kekuasaan (baca: penjajahan) membuat sejarah terputus.

Kota-kota kita sekarang lahir di masa modern dan berbasis perniagaan yang mengikuti tradisi Eropa abad pertengahan. Rata-rata berusia di bawah 100 tahun sehingga 'tradisi' berkota kita belum cukup terbakukan. Kita di-'paksa' hidup di kota modern yang tidak kita kenal, kota binaan yang kita terima tanpa kita minta. Jadi seperti kita disuruh menerima kloset yang bukan tradisi kita—tradisi kita adalah jongkok—maka akhirnya kita pun tetap jongkok di kloset duduk.

Taufik Rahzen membagi siklus sejarah kita ke dalam 500 tahunan, 30 tahunan, dan siklus kecil 7 tahunan. Diawali dari tahun 535 yang merupakan letusan kedua Krakatau, kemudian tahun 1011 maha pralaya di Kediri, Udayana wafat. Pada tahun 1511 Malaka runtuh.

Dan menurutnya tahun 2011 ini seirama dengan pergantian zaman dari rama (brahmana), raka (satria), hingga tiba zaman sudra (rakyat), pertanda berakhir masa arsitektur yang sekarang, berganti ke arsitektur rakyat—arsitektur perumahan rakyat.

Dalam siklus 30 tahunan bisa dilihat berbagai peristiwa. Tahun 1908 ditandai dengan kebangkitan nasional, tahun 1938, tahun 1968 dicanangkannya Repelita (rencana pembangunan lima tahun) pertama, hingga tahun 1998 Sidang Istimewa MPR. Dan kita tunggu di tahun 2028 mendatang akan ada apa?

Sedangkan di siklus 7 tahunan setelah 1998 dan 2005, akan ada apa di tahun 2012 nanti?

Mengenai ibu kota pun Taufik sempat mengamati rencana Sukarno memindahkan ibu kota ke Palangkaraya. Menurutnya Sukarno tidak betul-betul ingin memindahkan ibu kota ke sana, itu hanya siasat untuk mengambil Serawak, Sabah, dan Brunei semata. Sedangkan isu posisi Palangkaraya ada di tengah Indonesia itu hanya untuk pengalihan saja.

Dari apa yang diungkap oleh kedua narasumber ini ada benang merah yang sebetulnya bisa ditarik.

Sejarah mencatat bahwa dahulu pun ada pembedaan antara ibu kota dengan kota niaga/perdagangan, di mana daerah pemerintahan dipilih di tempat yang relatif lebih tenang sesuai dengan fungsinya yang butuh ketenangan. Jadi tidak seperti sekarang, ibu kota sebagai pusat pemerintahan bergabung dengan pusat perdagangan di Jakarta.

Pusat pemerintahan cenderung lebih mudah dipindah dibanding pusat perdagangan. Namun karena sejarah juga mencatat perpindahan pusat pemerintahan terkait dengan pergantian kekuasaan, maka kini itu pun menjadi beban kekhawatiran (bila tak boleh disebut ketakutan) bagi beberapa kalangan bila ibu kota kita dipindahkanapalagi ke luar pulau Jawadikhawatirkan Indonesia akan bubar.

Tetap di Jawa yang sudah sumpek dan penuh sesak, tampak bukan pilihan terbaik. Meski mungkin tidak harus di Palangkaraya, tapi jika ditinjau dari beberapa faktor, maka alternatif terbaik masih tetap Kalimantan Tengah.

Waspada boleh, tapi perlu diingat, dengan sistem pemerintahan yang tidak lagi berupa kerajaan, dan telah pula mengalami beberapa kali pergantian kekuasaan maupun sistem bernegara, pada kenyataannya Indonesia masih tetap berlangsung.

Dan apabila pergantian zaman ke sudra itu benar, bukankah itu bisa juga pertanda bahwa pusat pemerintahan harus pula berpindah? Atau mungkinkah goncangan yang kerap mendera ini memang akibat posisi ibu kota yang ada sekarang?

Penafsiran Taufik Rahzen tentang ide Palangkaraya dari Sukarno pun bisa jadi keliru, karena bukan tidak mungkin yang dipikirkan Bung Karno justru sebaliknya. Keinginannya memindahkan ibu kota itulah yang salah satu penyebab dia ingin menyatukan ketiga daerah tadi ke pangkuan ibu pertiwi. Faktor keamanan ibu kota bisa jadi salah satu pertimbangannya.

Mengikuti utak-atik-gatuk dari Taufik bisa saja itu pertanda di tahun 2011 dimulainya pencanangan dan diskusi intensif pemindahan ibu kota, di tahun 2012 dimulainya perancangan yang dilanjut dengan pembangunan, di tahun 2028 peresmian pusat pemerintahan di ibu kota baru.

Gotong-royong yang menurut Sukarno adalah inti sari Pancasila, saatnya kita bangun kembali dan amalkan bersama sebagai satu bangsa yang besar.


28 Mei 2011 | samidirijono | arsitek |

Tidak ada komentar

Silakan isi komentar Anda di sini, jangan lupa sertakan nama atau e-mail

Diberdayakan oleh Blogger.