Rencana Gedung Baru DPR dan UU Arsitek

Beberapa hari belakangan ini ramai lagi perbincangan di pelbagai media tentang gedung baru untuk anggota DPR berkantor. Anggota DPR yang banyak bolos itu sedang mengupayakan untuk memiliki kantor baru, yang lebih luas dari kantor yang sekarang digunakan.

Tidak salah memang bila anggota dewan ingin mendapatkan gedung baru dengan ruang yang lebih luas. Bahwa DPR lebih mementingkan pembuatan gedung baru dibanding dengan pembuatan landasan hukum bagi pelaku di bidang arsitektur--dalam hal ini yang dimaksud adalah UU Arsitek--memang menjadi ironi, mengingat mereka berkata, bahwa pembangunan gedung itu adalah melanjutkan kebijakan dari DPR periode yang lalu.

Padahal UU Arsitek yang bahkan sekarang menghilang dari daftar program legislasi nasional (prolegnas) pun sebetulnya adalah peninggalan DPR yang lalu. Dengan kata lain UU Arsitek yang telah mulai dibahas oleh DPR periode yang lalu, baik melalui pembuatan naskah akademis, rapat dengar pendapat umum, hingga dimasukkan dalam daftar agenda prolegnas sudah melalui jalan yang cukup panjang, bahkan jauh lebih panjang perjalanannya dari rencana pembangunan gedung baru yang TOR-nya baru dibuat tahun 2008 (Jurnal Parlementer, 31 Agustus 2010).

Apa tidak seharusnya DPR menyelesaikan terlebih dahulu landasan hukum bagi pelaku arsitektur--dalam hal ini yang dimaksud adalah arsitek, yang setelah itu barulah DPR membangun gedung barunya dengan berlandaskan aturan hukum yang telah dibuat? Bukankan membuat undang-undang itu adalah tugas dan kewajiban dari DPR? Dan bukankan kewajiban itu yang seharusnya lebih diutamakan daripada hak mendapatkan gedung baru untuk berkantor berbiaya 1,6 triliun yang cukup fantastis itu?


Apa perlunya UU Arsitek?


Arsitek dalam bekerja sekurang-kurangnya mempunyai tiga tanggung jawab. Pertama tanggung jawab terhadap profesinya (hasil karyanya), kedua tanggung jawab terhadap pengguna jasanya, dan ketiga tanggung jawab terhadap masyarakat umum.

Han Awal, seorang arsitek senior senantiasa mengingatkan bahwa arsitek dalam berprofesi selalu mempunyai dua klien. Klien arsitek yang pertama adalah pengguna jasa, yakni orang yang menggunakan jasa dan memberikan imbalan jasa, sedangkan klien kedua adalah masyarakat, yang meski pun bukan pengguna jasa tapi dia adalah klien yang juga harus dilindungi dan dijaga agar tidak dirugikan atas keinginan berlebihan pengguna jasa di dalam rancangan yang dibuat arsitek.

Jadi arsitek dalam setiap rancangannya selain terhadap profesi dan pengguna jasa, juga berkewajiban melindungi hak-hak masyarakat umum. Masyarakat umum bisa berarti pengguna akhir (end user) bangunan hasil rancangannya, atau pun masyarakat di lingkungan sekitar.

Karena itulah Undang-Undang (UU) Arsitek diperlukan, agar bukan hanya dapat melindungi sang arsitek tapi secara adil juga melindungi pengguna jasa dan masyarakat kita.

Dengan telah ditandatanganinya kesepakatan tentang keikutsertaan Indonesia dalam WTO, AFTA, akan berdampak dengan masuknya badan-badan usaha asing untuk bersaing tanpa aturan bila kita tidak punya landasan hukum sebagai rambu-rambu untuk melindungi tanah air kita. Dalam hal banyak bangunan saat ini yang dibuat oleh arsitek asing yang tidak mengenal iklim, adat, dan budaya kita, mengakibatkan bangunan yang dibuat ternyata berdampak buruk bagi lingkungan. Beberapa arsitek asing memang tidak seperti itu tapi bukan tidak mungkin bila pintu telah dibuka siapa pun bisa berbuat apa pun karena tidak ada landasan hukum yang mengatur dan melindungi masyarakat kita.

Jiwa nasionalisme yang menipis menjadikan luar negeri "minded" banyak merasuki sebagian masyarakat kita sehingga mereka merasa lebih "gaya" bila menggunakan arsitek asing, tapi kadang kala tanpa disadarinya ternyata yang mengerjakan proyek itu adalah arsitek-arsitek kita juga yang bekerja di perusahaan asing itu, dengan gaji yang jauh dari standar. Ironis ya?

Dengan hadirnya UU Arsitek juga akan mengharuskan arsitek kita untuk mempertahankan dan meningkatkan kompetensinya, yang pada akhirnya dapat bersaing pula dengan arsitek-arsitek mancanegara.

Jadi sudah selayaknya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kita mulai memikirkan bagaimana membangun negeri ini dengan membuatkan landaskan hukum yang baik dan adil untuk kemajuan bangsa, negara, dan kelangsungan hidup bagi generasi kita selanjutnya.

Kepercayaan diri sebagai bangsa dapat dibangun bila kita kembali dalam hidup bergotong-royong membangun negeri

06 September 2010 | samidirijono | arsitek |

Tidak ada komentar

Silakan isi komentar Anda di sini, jangan lupa sertakan nama atau e-mail

Diberdayakan oleh Blogger.