Berbahasa Indonesia Tak Perlu Baik dan Benar
Kongres pemuda di tahun 1928 dengan hasil Sumpah Pemuda yang fenomenal, yang salah satu isinya berbunyi "Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia", hingga akhirnya mengantar Bahasa Indonesia dikukuhkan dalam Undang-Undang Dasar kita sebagai Bahasa Negara.
Telah hampir 100 tahun peristiwa itu terjadi, namun hingga kini masyarakat belum bisa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Pembelajaran bahasa Indonesia bukanlah hal yang mudah, mengingat bahasa Indonesia sendiri masih terus berkembang hingga hari ini, belum lagi ditambah dengan dukungan pemerintah yang bisa dikatakan kurang baik dalam hal ini.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)--sebelum ini digunakan Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan Poerwadarminta--adalah rujukan resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui Pusat Bahasa. Namun apakah mungkin masyarakat dapat memilikinya, mengingat harga KBBI Edisi Keempat yang sekarang ada sedemikian mahal hingga mendekati angka empat ratus ribu rupiah sungguh suatu angka yang fantastis untuk masyarakat yang tergolong jauh dari kemapanan, di mana pada tahun 2008 saja pendapatan rata-rata hanya mencapai sekitar 9,9 juta per tahun (didapat dari PDB dikurangi beban utang per kapita atau (21,7-11,8) juta ---> lihat Detik Finance 4 Maret 2009 dan Jawa Pos 10 Maret 2009)
Coba ditanyakan ke penerbit, berapa eksemplar yang telah dicetak dan berapa eksemplar yang telah terjual? Kemudian bandingkan dengan jumlah keluarga atau penduduk yang ada di Republik ini, apakah mencapai satu persen dari jumlah penduduk? Rasanya akan jauh panggang dari api. Maka jangan heran bila masyarakat tidak dapat berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Apabila pemerintah benar-benar berkeinginan rakyatnya dapat berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, maka sebaiknya pemerintah memberikan subsidi untuk kamus ini agar harganya terjangkau oleh masyarakat dan pemerintah tidak perlu berpikir untuk mengambil keuntungan dari penjualan kamus ini. Langkah lain yang dapat dilakukan adalah mengajak kerja sama pihak swasta sebagai sponsor, dalam hal ini bisa saja penerbit swasta, atau cukup menggunakan penerbitan milik pemerintah agar tidak memberatkan pihak swasta.
Memang pemerintah melalui Pusat Bahasa telah mengeluarkan Kamus Bahasa Indonesia (KBI) untuk konsumsi sekolah dalam bentuk kamus elektronik yang dapat diunduh secara gratis. Tapi ini pun tampaknya tidak terlalu serius dilaksanakan, karena kamus yang dinyatakan berjumlah halaman 1826 hanya berisikan 1630-an halaman saja--itu berarti ada sekitar 200-an halaman hilang, juga terdapat kekacauan pada bagian akhir dalam penyusunan lema di huruf "B", dan belum lagi ditambah ketiadaan huruf "P" di versi lengkap kamus tersebut. Sudah betulkah semua isi kamus itu? Bisakah kamus ini dijadikan buku pegangan untuk sekolah dan masyarakat? Pertanda tidak ketidakseriusankah ini bila dalam buku resmi (meski gratis) terjadi kesalahan dan kekurangan hingga 200-an halaman? Mudah-mudahan itu bukan suatu kesengajaan.
Di lain pihak, seberapa besarkah masyarakat pengguna internet hingga ke pelosok-pelosok negeri ini yang bisa memungkinkan mereka mengakses kamus yang dapat diunduh gratis ini?
Inilah fenomena yang terjadi di seputar bahasa Indonesia kita, yang bila kita ke toko buku--mungkin karena mahal--ada yang meletakkan kamus ini dalam kotak kaca, menjadikan kamus yang bersampul warna kuning emas ini sedap dipandang mata.
Jadi kalau begitu salahkah premis yang dipakai sebagai judul di atas?
| 4 Maret 2010 | samidirijono | arsitek |
Telah hampir 100 tahun peristiwa itu terjadi, namun hingga kini masyarakat belum bisa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Pembelajaran bahasa Indonesia bukanlah hal yang mudah, mengingat bahasa Indonesia sendiri masih terus berkembang hingga hari ini, belum lagi ditambah dengan dukungan pemerintah yang bisa dikatakan kurang baik dalam hal ini.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)--sebelum ini digunakan Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan Poerwadarminta--adalah rujukan resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui Pusat Bahasa. Namun apakah mungkin masyarakat dapat memilikinya, mengingat harga KBBI Edisi Keempat yang sekarang ada sedemikian mahal hingga mendekati angka empat ratus ribu rupiah sungguh suatu angka yang fantastis untuk masyarakat yang tergolong jauh dari kemapanan, di mana pada tahun 2008 saja pendapatan rata-rata hanya mencapai sekitar 9,9 juta per tahun (didapat dari PDB dikurangi beban utang per kapita atau (21,7-11,8) juta ---> lihat Detik Finance 4 Maret 2009 dan Jawa Pos 10 Maret 2009)
Coba ditanyakan ke penerbit, berapa eksemplar yang telah dicetak dan berapa eksemplar yang telah terjual? Kemudian bandingkan dengan jumlah keluarga atau penduduk yang ada di Republik ini, apakah mencapai satu persen dari jumlah penduduk? Rasanya akan jauh panggang dari api. Maka jangan heran bila masyarakat tidak dapat berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Apabila pemerintah benar-benar berkeinginan rakyatnya dapat berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, maka sebaiknya pemerintah memberikan subsidi untuk kamus ini agar harganya terjangkau oleh masyarakat dan pemerintah tidak perlu berpikir untuk mengambil keuntungan dari penjualan kamus ini. Langkah lain yang dapat dilakukan adalah mengajak kerja sama pihak swasta sebagai sponsor, dalam hal ini bisa saja penerbit swasta, atau cukup menggunakan penerbitan milik pemerintah agar tidak memberatkan pihak swasta.
Memang pemerintah melalui Pusat Bahasa telah mengeluarkan Kamus Bahasa Indonesia (KBI) untuk konsumsi sekolah dalam bentuk kamus elektronik yang dapat diunduh secara gratis. Tapi ini pun tampaknya tidak terlalu serius dilaksanakan, karena kamus yang dinyatakan berjumlah halaman 1826 hanya berisikan 1630-an halaman saja--itu berarti ada sekitar 200-an halaman hilang, juga terdapat kekacauan pada bagian akhir dalam penyusunan lema di huruf "B", dan belum lagi ditambah ketiadaan huruf "P" di versi lengkap kamus tersebut. Sudah betulkah semua isi kamus itu? Bisakah kamus ini dijadikan buku pegangan untuk sekolah dan masyarakat? Pertanda tidak ketidakseriusankah ini bila dalam buku resmi (meski gratis) terjadi kesalahan dan kekurangan hingga 200-an halaman? Mudah-mudahan itu bukan suatu kesengajaan.
Di lain pihak, seberapa besarkah masyarakat pengguna internet hingga ke pelosok-pelosok negeri ini yang bisa memungkinkan mereka mengakses kamus yang dapat diunduh gratis ini?
Inilah fenomena yang terjadi di seputar bahasa Indonesia kita, yang bila kita ke toko buku--mungkin karena mahal--ada yang meletakkan kamus ini dalam kotak kaca, menjadikan kamus yang bersampul warna kuning emas ini sedap dipandang mata.
Jadi kalau begitu salahkah premis yang dipakai sebagai judul di atas?
| 4 Maret 2010 | samidirijono | arsitek |
Leave a Comment