Hasil Penelitian Jangan Hanya Teronggok di Gudang

Membaca berita Kompas hari Sabtu, 6 Februari 2010 tentang Laboratorium Sel Surya Hartika sungguh ironis sekali. Apa yang dikerjakan oleh Hartika sebagai peneliti produksi sel surya selama 30 tahun, ternyata belum membuahkan hasil hingga saat ini.

Padahal di tahun 1996, sebagai bentuk pertukaran cendera mata dengan Pemerintah Malaysia berupa tiga mobil Proton Saga yang merupakan mobil nasional kebanggaan negeri jiran itu, Presiden Soeharto memberikan 50 panel sel surya hasil penelitian Hartika. Malaysia boleh unjuk gigi mampu membikin mobil sendiri, Soeharto ingin menunjukkan Indonesia tak kalah maju di bidang teknologi dengan menunjukkan teknologi sel surya ”bikinan sendiri”.

"Meskipun Indonesia sudah memulai, menurut Hartika, negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia, ternyata yang lebih dulu membuat pabrikasi sel surya. Itu bukan karena para ahli mereka yang lebih dulu mampu membuat sel surya, melainkan ini lebih karena pemerintah negara-negara itu berani memutuskan membuat industri sel surya."

Hartika selepas studi Jurusan Elektronika Institut Teknologi Bandung (ITB) bergabung di Lembaga Elektronika Nasional (LEN)—dulu masih di bawah LIPI. Kemudian berkesempatan mendalami teknologi sel surya di Osaka, Jepang dan menimba ilmu itu di sejumlah negara di Eropa, Asia, juga Amerika Serikat.

Hartika memperoleh anugerah Satyalancana Pembangunan dari Presiden Soeharto (1997). Penghargaan itu dia dapatkan atas perannya dalam Lapangan Pembangunan Bidang Industri Strategis: Proses dan Produksi Komponen Sel Surya, Listrik Tenaga Surya untuk Sejuta Rumah. Dan berkat konsistensi, kesetiaan, serta penguasaan teknologi proses produksi sel surya pada Juni 2007, Hartika dikukuhkan sebagai profesor riset oleh Kepala LIPI Umar Anggara Djenie. Sebulan kemudian, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahkan Satyalancana Karya Satya XXX untuk dia. Tapi anehnya, sampai kini, dua tahun menjelang Hartika pensiun, belum ada pabrikasi untuk sel surya di Indonesia, padahal negara kita yang berada di garis khatulistiwa ini memang membutuhkan sel surya agar dapat memanfaatkan karunia dari Sang Pencitpa.

Nawa Tunggal dalam liputan di Kompas menyampaikan bahwa sungguh sayang, di bidang kemandirian teknologi ini, pemerintah masih sebatas menyampaikan penghargaan. Para periset tentu berharap, pemerintah berani dan segera mengimplementasikan hasil riset teknologi mereka.

Memang ironis karena bagi seorang peneliti kurang lengkap rasanya bila hanya sampai sebatas penghargaan. Seperti arsitek, peneliti tentunya merasa lebih dihargai bila karya-karya mereka bisa diwujudkan dan diimplementasikan secara nyata, bukankah begitu?

Untuk maju, Indonesia tentunya harus berani menyediakan anggaran untuk penelitian dan pemerintah harus berani menggalang kerja sama atau mengoordinir pihak swasta dalam negeri untuk mewujudkan berbagai hasil penelitian yang telah dilaksanakan supaya hasil penelitian pun tidak hanya teronggok di gudang dan membuang-buang uang percuma.

| 7 Februari 2010 | samidirijono |

2 komentar:

  1. Tidak bisa terwujud kalau pemerintah kita masih jadi 'pembantu' negara adikuasa dan lalim durjana..Well what a pity sih..Tapi tetap semangat pak Sammy! ^_^

    BalasHapus
  2. Betul tetap semangat... Ketika generasi berganti dan pemerintahan berganti diharapkan semakin baik. Kata kuncinya ada di (baca) http://balaijumpa.blogspot.com/2010/01/selamat-datang-di-balai-jumpa.html.
    Dan pemerintah kita bisa juga tergantung "kita-kita"-nya, bila.. (baca) "Pajak untuk Apa?"

    BalasHapus

Silakan isi komentar Anda di sini, jangan lupa sertakan nama atau e-mail

Diberdayakan oleh Blogger.