Apa Keputusan Presiden Tentang Kapolri dan KPK?


Penetapan kepala Polri kian menghangat sekeluarnya keputusan praperadilan atas penetapan tersangka Komjen Budi Gunawan. Akankah Presiden Joko Widodo melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri?

Bila Presiden berniat tidak hendak melantik maka berarti posisinya kian terhimpit dengan hasil keputusan praperadilan, tapi bila sebaliknya tentu ini jadi momentum yang baik untuknya, atas upaya mengulur waktu yang telah dilakukannya. Konsekuensinya tentu saja dia akan berhadapan dengan rakyatnya sendiri, yaitu mereka yang tidak punya kepentingan politik seperti para politisi.

Apakah keputusan praperadilan atas penetapan tersangka secara otomatis menganulir dugaan korupsi yang dilakukan Budi Gunawan atau apakah akibat “kesalahan prosedur” penetapan tersangka berarti menggugurkan dugaan itu?

Pembuktian terhadap seseorang itu bersalah atau tidak, apakah di sidang pengadilan atau di praperadilan?

Dahulu di Amerika sana, ada Al Capone, yang diyakini sebagai tokoh mafia Chicago tapi tak bisa dijerat hukum, sehingga dibentuklah tim penegak hukum yang dikomandani oleh Eliot Ness. Akhirnya Al Capone pun berhasil dijebloskan ke penjara namun bukan akibat perbuatan kriminalnya tapi melalui kasus penggelapan pajak. Kisahnya kemudian difilmkan dan diberi judul The Untouchables.

Di masa lalu sebelum reformasi 1998 dikenal istilah “ada korupsi namun tidak ada koruptornya” akibat maraknya korupsi namun tidak pernah ada pelaku korupsi yang tertangkap apalagi sampai di penjara. Masih ingatkah ketika dahulu Anwar Nasution mengatakan, bahwa BI (Bank Indonesia) itu sarang (korupsi) penyamun? Sayangnya ketika ia masuk menjadi Deputi Senior di BI pun ternyata tiada seorang penyamun pun yang dilaporkan.

Ini pula dahulu yang diimpikan saat republik ini membentuk KPK, bahwa akan ada “tim Eliot Ness” yang bisa menjebloskan koruptor ke penjara, akibat korupsi yang sudah sangat parah di negeri ini.

Kita mungkin belum lupa selain Nawacita, ada semboyan Revolusi Mental yang selalu didengung-dengungkan saat kampanye pemilu lalu, baik oleh partai PDI Perjuangan mau pun oleh Joko Widodo sang calon presiden yang akrab dipanggil Jokowi ini. Entah itu benar dibuat Jokowi sendiri atau hanya buatan tim kampanyenya dahulu, tampaknya kasus Kapolri ini menjadi ujian baginya sebagai Presiden dan juga bisa jadi momen untuk mencontohkan apa itu yang dimaksud dengan Revolusi Mental sesungguhnya.


Tapi apa dasar hukumnya bila ia berniat tidak melantik Budi Gunawan? Mengingat desakan berbagai pihak, termasuk DPR yang telah menyetujuinya menginginkan Budi Gunawan dilantik. Dan apakah dengan melantik, nantinya DPR tidak akan berbalik arah untuk memakzulkannya akibat desakan publik yang mungkin akan terjadi?

Selain sebagai hak prerogatif presiden, sebetulnya di atas undang-undang masih ada TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 yang bisa dijadikan pijakan untuk mengganti dengan calon yang lain. Bahkan di atas itu masih ada sumber segala sumber hukum kita, yakni Pancasila khususnya sila kedua dan ketiga. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, kemanusiaan itu adalah tentang sifat manusia yang berakal budi, jadi sifat manusia yang beradab dan berkeadilan yang perlu dikedepankan untuk hal ini. Sedangkan Persatuan Indonesia mengandung arti rela berkorban dengan mengutamakan kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan. Bila perlu Presiden bisa membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) untuk menguatkan keputusannya, atas dasar kedua sumber hukum tersebut. Hal ini sejalan dengan keinginan Megawati Sukarnoputri yang selalu menekankan asas konstitusional.

Budi Gunawan bermasalah, meski bukan berarti dia bersalah atau tidak bersalah, karena bukankah untuk ini sesungguhnya belum ada pembuktiannya? Yang dibuktikan di sidang praperadilan baru atas kasus “penetapan tersangka”-nya oleh KPK, belum masuk ke inti tuduhan yang dilakukan terhadapnya. Jadi apakah arif bila melantik seseorang yang masih punya masalah?

Lantas bagaimana sebaiknya jika mengajukan calon Kapolri baru?

Sebagaimana yang diungkapkan di salah satu stasiun TV oleh Jenderal (purn.) Chairuddin Ismail, mantan Kapolri, bahwa pada zamannya pangkat jenderal polisi itu hanya berjumlah 50-an saja, kini mencapai 200-an orang. Mengingat potensi itu, maka ada baiknya pencarian calon Kapolri dimulai dari proses paling awal,  bukan dengan hanya menambahkan dari calon-calon yang telah ada, jadi bukan dengan cara urut kacang, tapi dengan nama-nama calon yang semuanya baru. 

Selain mencari yang kompeten, juga sebagaimana anjuran Buya Syafii Maarif bahwa sebaiknya yang dipilih yang paling sedikit nodanya.

Ke depan sepertinya institusi Polri perlu direstrukturisasi, 200 jenderal itu tampaknya terlalu banyak. Demikian juga jenjang kepangkatan yang ada di Polri pun terlalu banyak—yang meski menggunakan istilah lain—masih mengikuti jenjang kepangkatan di TNI (dahulu ABRI).

Profesionalisme Polri juga perlu ditingkatkan, bagaimana mungkin bisa sedemikian mudahnya memproses para pimpinan KPK ketika salah seorang rekannya dijadikan tersangka oleh KPK, sementara urusan tabloid Obor Rakyat sampai kini tidak jelas kelanjutannya. Belum lagi urusan Labora, rekan sesama anggota polisi di Papua yang tidak kunjung selesai, dengan berbagai alasan yang dikemukakan.

Demikian pula tugas dan tanggung jawabnya, apabila itu semua telah dilakukan mungkin keberadaan Polri yang langsung di bawah presiden juga perlu dipertimbangkan kembali nantinya.

Tumpang tindih masalah keamanan antara kepolisian (Banpol), pamong praja, hansip pun bisa membuat saling lempar tanggung jawab, dan masyarakat sendiri merasa rancu, lalu sebagian masyarakat pun membuat “pasukan keamanannya” sendiri, ada FPI, FBR, dll.

Di bidang perhubungan, antara Polantas, DLLAJR, departemen perhubungan, pamong praja pun terasa tumpang tindih, seperti contoh kecil berikut. Seharusnya menjadi tanggung jawab siapakah ketika jalanan dan trotoar dijadikan lahan parkir liar atau dipenuhi PKL sehingga mengganggu kendaraan atau pun pejalan kaki?

Terus terang, kepolisian kita memerlukan orang berani yang bisa memperbaiki internal institusi Polri sekaligus menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Sesuai sumpah dan jabatannya untuk kepentingan negara, berani menyatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah, bila dilakukan pemeriksaan yang bukan oleh institusinya sendiri sekali pun. Negara melalui Undang-Undang Dasar telah menjamin persamaan kedudukan semua warga negara di bidang hukum dan pemerintahan.

Mengenai KPK, bagi yang telah dijadikan tersangka, Presiden bisa menugaskan Polri dan meminta pengadilan untuk segera mempercepat prosesnya—kalau perlu kepada masing-masing diberi tenggat waktu—agar status hukum yang bersangkutan jelas dan tidak terkatung-katung. Hasilnya tentu bila terbukti bersalah dihukum atau bila dinyatakan tidak bersalah maka dapat segera dikembalikan ke posisi semula.

Sedangkan bagi yang belum berstatus tersangka, sebaiknya proses hukumnya ditunda hingga yang bersangkutan habis masa jabatannya di KPK. Agar hal ini tidak mengganggu kinerja KPK dan sekaligus membuktikan bahwa tuduhan kasus itu bukan suatu rekayasa untuk melemahkan KPK.

Ke depannya tentu menjadi tanggung jawab DPR untuk bisa lebih teliti dalam memeriksa dan memilih orang-orang yang akan duduk sebagai pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mengingat kejadian seperti ini bukan pertama kalinya terjadi!

Maju tak gentar membela yang benar.Bukan maju tak gentar membela yang bayar.

18 Februari 2015 | arsitek samidirijono |

Tidak ada komentar

Silakan isi komentar Anda di sini, jangan lupa sertakan nama atau e-mail

Diberdayakan oleh Blogger.