Tokoh-Tokoh Tersandera Partai


Bila pada awalnya nama-nama calon presiden (capres) hanya yang itu-itu saja, alias wajah-wajah lama yang itu-itu lagi.

Pada akhirnya menginspirasi beberapa kalangan dan media massa memunculkan nama-nama alternatif sebagai  tokoh yang dianggap pantas untuk bersaing dalam kancah pemilihan presiden.

Bahwa untuk mengajukan capres, caranya adalah harus melalui partai politik dan dengan persyaratan ambang batas perolehan suara minimum 25 persen suara nasional untuk calon legislatifnya atau menguasai minimum 20 persen kursi di DPR.

Masing-masing partai politik membutuhkan amunisi yang banyak guna memenangkan pemilihan umum legislatif, agar dapat mengajukan capresnya sendiri.

Untuk itulah beberapa partai politik melakukan manuver guna menjaring suara pemilih, dengan membuka keran bagi mereka yang ingin maju sebagai capres. Sebut saja misalnya konvensi ala Partai Demokrat (PD), konvensi ala Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan pemilihan raya ala Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang dilakukan dengan caranya masing-masing.

Alih-alih untuk mencari capres bagi partainya, namun tujuan utama sebenarnya untuk mendulang suara pemilih demi mendongkrak suara partai, mengingat sedari awal mekanisme penjaringan capres ini sudah tidak jelas.

Lihat saja  pelaksanaannya, tampak sekali bahwa dari mekanisme, termasuk jadwal konvensi mau pun tata cara penentuan capres mereka sudah tidak jelas sedari awal.

Kepiawaian beberapa partai politik dalam memainkan perannya, menyebabkan banyak pula tokoh yang tertarik ikut dalam "permainan" yang mereka gelar guna mencoba peluang masing-masing menjadi capres lewat partai-partai itu. Apalagi saat itu Jokowi yang digadang-gadang banyak pihak sebagai calon kuat capres alternatif tak kunjung jelas posisinya.

Ini pula yang tampaknya kemudian memunculkan minat tokoh-tokoh alternatif lainnya untuk mengajukan diri sebagai kandidat dalam mencari peluang sebagai capres yang dibuka oleh berbagai partai itu.

Maka muncullah nama-nama seperti Ahmad Heryawan, Anies Baswedan, Annis Matta, Dahlan Iskan, Gita Wiryawan, Irman Gusman, Mahfud MD, Rhoma Irama, dan Yusuf Kalla.



Perkembangan politik pasca-ditunjuknya Joko Widodo sebagai capres oleh PDI Perjuangan pada detik-detik terakhir pelaksanaan pemilu legislatif (pileg) serta-merta mengubah peta politik yang ada. Ditambah lagi dengan prediksi kemenangan partai berdasarkan hasil hitung cepat pelaksanaan pemilu legislatif.

Partai Golkar pun bergeming dengan Aburizal Bakrie sebagai capresnya, demikian pula dengan Partai Gerindra dengan capresnya Prabowo Subianto.



Ketiga capres ini pun lalu sibuk mencari calon wakil presiden (cawapres). Bahkan pihak pengusung capres Jokowi secara tegas menyatakan hanya mau melakukan koalisi tanpa syarat, untuk menghindari koalisi-koalisian seperti yang terjadi di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono ini.

Di lain pihak para tokoh alternatif atau kandidat capres tadi pun kian terlantar dan tak jelas nasibnya, karena partai-partai menggantung proses pencapresannya.

Andai kata proses pencapresan di partai-partai tadi telah diselesaikan, maka para peserta yang tidak terpilih menjadi bebas dan merdeka, dan mereka pun bebas bila ingin dipinang atau pun melamar sebagai cawapres dari ketiga capres yang ada.

Tapi tampaknya partai-partai tidak menginginkan hal itu terjadi, dan para kandidat capres ini pun dijadikan alat tawar-menawar untuk koalisi partai, dengan menggadang-gadang mereka sebagai cawapres, meski sebenarnya tujuan awal dahulu itu untuk capres bukan cawapres.

Akibatnya para kandidat capres ini pun tersandera nasibnya, karena secara moral mereka masih terikat dengan proses pencapresan di partai yang diikutinya, sementara partai tak kunjung menyelesaikan prosesnya.

Entah disadari atau tidak, setelah di pemilu legislatif mereka dijadikan pendulang suara partai, kini pun dijadikan alat tawar-menawar partai.

Padahal mereka ini manusia, bukan kue yang dijual di toko kue yang bisa diperdagangkan sesuka hati, hanya karena koalisi masih saja dimaknai sebagai politik bagi-bagi kue kekuasaan.

Sesungguhnya kekuasaan itu untuk kemajuan bangsa.
Mari membangun peradaban dengan cara beradab.


05 Mei 2014 | samidirijono | arsitek |

4 komentar:

  1. Ibnu Rusdi : Tak ada kawan abadi dalam politik.

    BalasHapus
  2. dan tak ada lawan Abadi.

    BalasHapus
  3. Eka: Etika politik hrs lbh diterapkan lg yg bertujuan utk kemaslahatan masyarakat dan pemimpin yg kuat secara moral dibutuhkan utk menyelesaikan permasalahan bangsa yg kompleks.

    BalasHapus
  4. hehe...
    rasa2nya para pendiri bangsa dulu telah memberi contoh berpolitik yang baik, mereka santun ga seperti sekarang minta2 jatah ;)

    harusnya ingat jas merah, jangan sekali-kali melupakan sejarah...

    tapi kita salah kaprah, sejarah bukan dipelajari tapi dihafalkan tahun-tahunnya, tanpa pernah berusaha memahami makna dibalik peristiwa yang terjadi

    terima kasih untuk rekan2 yang sudah komen, yang belum ditunggu guna membuka wawasan kita bersama ;)

    BalasHapus

Silakan isi komentar Anda di sini, jangan lupa sertakan nama atau e-mail

Diberdayakan oleh Blogger.