Dari Titik Kecil Kita Menuju ke Masyarakat Adil dan Makmur.
Beberapa waktu lalu, lewat pesan elektronik sampai kiriman gambar Peta Indonesia. Lucunya peta ini terlihat berbeda dari peta biasanya, di mana pulau-pulau di peta itu digambarkan sebagai bentuk-bentuk tikus.
Dilihat dari satu sisi, bisa dikatakan ini suatu pelecehan. Tapi bila diteropong dari sisi lain, maka tampaknya apa yang digambarkan oleh si desainer ada benarnya juga. Dalam artian apa yang saat ini terjadi di negara kita secara telanjang dapat dilihat demikian.
Analogi tikus ini mencerminkan kondisi apa yang ada pada saat ini. Bukankah kini negeri ini sedang digerogoti tikus-tikus? Tikus yang hidup di lumbung padi, yang terus berkembang biak luar biasa banyaknya dan siap melalap habis padi di dalam lumbung.
Telah terjadi dekadensi moral yang sedemikian parah dan membahayakan. Negara dengan umat beragama seperti tanpa agama atau lebih tepatnya esensi dari agama itu sendiri seperti tidak dapat dicerna dengan baik oleh umat agama yang mana pun. Pagar-pagar budaya pun telah koyak di sana-sini, kesantunan dan tenggang rasa kian meranggas sudah.
Mana benar dan mana salah kini semakin sulit dibedakan, kegamangan pun telah merasuk jauh ke dalam pikiran. Kebenaran sudah kian jauh terpendam. Ketidakbenaran kian dianggap wajar atau pada akhirnya dimaklumi, karena kian sulit dihindari. Apa yang sebetulnya salah sudah tidak lagi dianggap salah, atau tidak peduli mana benar dan mana salah?
Ribuan contoh bisa ditampilkan, salah satunya bisa lihat pada kejadian sehari-hari di jalan. Perhatikan sebuah jalan bertanda verboden (dilarang masuk), di situ bisa kita lihat masyarakat tua-muda dari semua agama, suku, golongan (tentara, polisi, sipil, pegawai negeri), melanggar aturan itu.
Tidak sedikit pula dari yang melanggar aturan ini berkendara bersama anaknya yang masih kecil.
Sadarkah kita bahwa itu berarti memberi contoh kepada anak kita?
Bukankah melihat atau mencontoh adalah pendidikan terbaik yang paling mudah dicerap oleh anak-anak?
Sekarang, yang terjadi justru berbagai pelanggaran dengan sengaja pun tidak dicontohkan kepada anak-anak. Kasihan anak-anak kita, mereka semakin bias akan mana benar dan mana yang tidak benar.
Nilai-nilai kebenaran yang diajarkan sendiri oleh orang tuanya dengan gamblang dilanggar sendiri oleh orang tuanya. Mampukah si anak mencerna itu?
Atau itu yang kemudian membentuk kesadarannya bahwa salah itu adalah bila orang lain yang melakukan, tapi kalau kami atau saya sendiri yang melakukan, tidak salah?!
Kita harus beranjak sadar dan peduli akan hal ini, bahwa dari hal-hal kecil ternyata bisa membawa dampak besar bagi perkembangan kejiwaan seorang anak.
Perbaikilah kesalahan kita, agar anak keturunan kita bisa memperbaiki semua perilaku yang menyimpang yang telah terjadi sepanjang masa ini.
Ingat pesan yang ditorehkan oleh Wage Rudolf Supratman dalam syair lagu kebangsaan kita, mengenai apa yang harus dilakukan kepada anak bangsa ini guna membangun bangsa!
...bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia raya...
02 Mei 2012 | samidirijono | arsitek |
(sumber foto dari internet dan koleksi pribadi)
Dilihat dari satu sisi, bisa dikatakan ini suatu pelecehan. Tapi bila diteropong dari sisi lain, maka tampaknya apa yang digambarkan oleh si desainer ada benarnya juga. Dalam artian apa yang saat ini terjadi di negara kita secara telanjang dapat dilihat demikian.
Analogi tikus ini mencerminkan kondisi apa yang ada pada saat ini. Bukankah kini negeri ini sedang digerogoti tikus-tikus? Tikus yang hidup di lumbung padi, yang terus berkembang biak luar biasa banyaknya dan siap melalap habis padi di dalam lumbung.
Telah terjadi dekadensi moral yang sedemikian parah dan membahayakan. Negara dengan umat beragama seperti tanpa agama atau lebih tepatnya esensi dari agama itu sendiri seperti tidak dapat dicerna dengan baik oleh umat agama yang mana pun. Pagar-pagar budaya pun telah koyak di sana-sini, kesantunan dan tenggang rasa kian meranggas sudah.
Mana benar dan mana salah kini semakin sulit dibedakan, kegamangan pun telah merasuk jauh ke dalam pikiran. Kebenaran sudah kian jauh terpendam. Ketidakbenaran kian dianggap wajar atau pada akhirnya dimaklumi, karena kian sulit dihindari. Apa yang sebetulnya salah sudah tidak lagi dianggap salah, atau tidak peduli mana benar dan mana salah?
Ribuan contoh bisa ditampilkan, salah satunya bisa lihat pada kejadian sehari-hari di jalan. Perhatikan sebuah jalan bertanda verboden (dilarang masuk), di situ bisa kita lihat masyarakat tua-muda dari semua agama, suku, golongan (tentara, polisi, sipil, pegawai negeri), melanggar aturan itu.
Tidak sedikit pula dari yang melanggar aturan ini berkendara bersama anaknya yang masih kecil.
Sadarkah kita bahwa itu berarti memberi contoh kepada anak kita?
Bukankah melihat atau mencontoh adalah pendidikan terbaik yang paling mudah dicerap oleh anak-anak?
Sekarang, yang terjadi justru berbagai pelanggaran dengan sengaja pun tidak dicontohkan kepada anak-anak. Kasihan anak-anak kita, mereka semakin bias akan mana benar dan mana yang tidak benar.
Nilai-nilai kebenaran yang diajarkan sendiri oleh orang tuanya dengan gamblang dilanggar sendiri oleh orang tuanya. Mampukah si anak mencerna itu?
Atau itu yang kemudian membentuk kesadarannya bahwa salah itu adalah bila orang lain yang melakukan, tapi kalau kami atau saya sendiri yang melakukan, tidak salah?!
Kita harus beranjak sadar dan peduli akan hal ini, bahwa dari hal-hal kecil ternyata bisa membawa dampak besar bagi perkembangan kejiwaan seorang anak.
Perbaikilah kesalahan kita, agar anak keturunan kita bisa memperbaiki semua perilaku yang menyimpang yang telah terjadi sepanjang masa ini.
Ingat pesan yang ditorehkan oleh Wage Rudolf Supratman dalam syair lagu kebangsaan kita, mengenai apa yang harus dilakukan kepada anak bangsa ini guna membangun bangsa!
...bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia raya...
02 Mei 2012 | samidirijono | arsitek |
(sumber foto dari internet dan koleksi pribadi)
Leave a Comment