Sanksi Hukum Sangsi Hukum

Membaca berbagai kasus hukum di media masa akhir-akhir ini bila dicermati sepertinya ini menggambarkan betapa carut-marut hukum di negeri kita. Dari kasus Prita, Century, Antasari, pengeluaran paksa penghuni dari rumah dinas TNI, atau pun kasus-kasus yang tidak kunjung selesai seperti Munir, penculikan aktivis, dan Lapindo.

Sedangkan di lain pihak dari segi pembuatan peraturan dan perundang-undangan pun tidak jauh berbeda dengan kasus-kasus hukum itu sendiri, carut-marut!

Mulai dari bongkar pasang Undang-Undang Dasar (UUD) hingga 4 kali, yang sesungguhnya saat gerakan mahasiswa (reformasi) digulirkan tuntutan utama hanya turunkan Suharto karena terlalu lama berkuasa akibat tidak ada pembatasan masa jabatan. Pasal 7 UUD'45 "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali" yang seharusnya tinggal ditambahkan kata misalnya "untuk yang terakhir kali".

Tetapi yang terjadi justru semua pasal diobrak-abrik dan parahnya tidak juga dipelajari terlebih dahulu catatan-catatan rapat para pembuat naskah awal, supaya bisa dimengerti maksud dari tiap pasal atau ayat yang tertulis di sana. Dan konon kabarnya di dalam amandemen itu ada keterlibatan tangan-tangan asing untuk memasukkan kepentingan-kepentingan mereka, betulkah?

Kilas Balik

Bila kita buka dan teliti kembali UUD'45 kita, dalam banyak pasal-pasalnya diamanatkan supaya dibuat turunannya yakni undang-undang untuk memperinci maksud dan tujuan pasal-pasal tadi. Sehingga itulah sebab kenapa di dalam pasal atau ayat UUD'45 banyak terdapat kata "ditetapkan atau diatur dengan undang-undang".

Dan bila kita baca Aturan Tambahan dalam UUD'45 tercantum dengan jelas pada butir 1, bahwa "Dalam enam bulan sesudah berakhirnya peperangan Asia Timur Raya, Presiden Indonesia mengatur dan menyelenggarakan segala hal yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar ini."

Sementara sangat banyak undang-undang dan peraturan yang dipakai hingga saat ini yang belum dibuat menyesuaikan UUD'45 itu. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/Perdata, UU Gangguan (Hinder Ordonantie), dan masih banyak lagi produk hukum kita yang merupakan produk kolonial, yang sebetulnya perlu diubah atau disesuaikan isinya dengan semangat UUD kita, yakni yang semangatnya bukan untuk kepentingan pemerintah (baca: penguasa kolonial) tetapi dimaksudkan lebih pada kepentingan rakyat atau publik. Dan jangan lupa bukankah untuk maksud itu Indonesia dibentuk dan dicanangkan sebagai Republik (urusan publik). Tapi itulah sebetulnya kenyataan yang sekarang ada!

Jadi seharusnya yang terjadi bukan justru malah UUD yang belum pernah diimplementasikan secara benar yang diubah-ubah hingga akhirnya kini kita pun ragu ini sistem pemerintahan presidensial atau parlementer?

Kini

Ketika dasar hukum kita tidak lagi kuat, ketika perangkat hukum tidak lagi peduli, ketika hukum bisa dipermainkan dan persepsi pun dapat dijungkirbalikkan, ketika hukum menjadi pilih kasih, ketika hukum tidak lagi bersandar pada keadilan, ketika petugas hukum tidak lagi adil, maka rakyat pun jadi tidak punya pegangan, rakyat pun menjadi sangsi akan hukum dan akhirnya tidak peduli pada hukum. Ketika hukum sudah dilemahkan pada pelaksanaannya sebagaimana beberapa contoh di atas tadi dan ketidakpedulian rakyat pun sangat terlihat dalam hal keseharian seperti dalam aturan berlalu lintas di mana jalan searah pun diterobos.

Ditambah lagi dalam pembuatan produk-produk atau aturan hukum pun nyaris tak punya semangat keadilan, yang dikedepankan lebih pada semangat ancaman dan materi. Semua produk hukum lebih mengedepankan besaran sanksi dalam bentuk uang. Sanksi hukum hingga berjuta-juta rupiah, di sisi lain tingkat kesejahteraan dan kemampuan rakyat sangat jauh di bawah itu. Contoh sanksi dalam UU Lalu Lintas yang bernilai jutaan rupiah dan yang terhangat adalah mengenai berita RUU Perkawinan dalam pengaturan nikah siri--melangsungkan perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat perkawinan. Sementara untuk melangsungkan perkawinan di hadapan pejabat pencatat perkawinan pasti membutuhkan biaya yang tidak sedikit pula, baik untuk biaya resmi apalagi yang tidak resmi, yang tentunya ini menjadi beban bagi rakyat pada umumnya yang tingkat kemampuannya masih di bawah itu tadi.

Hal ini diperparah dengan penjatuhan sanksi terhadap suatu perkara, sangat tampak terjadinya ketidakadilan. Mengambil kakao langsung ditangkap dan diancam hukuman 6 bulan, sementara yang mengambil bermilyar-milyar masih bisa bebas berkeliaran dengan alasan belum ketemu pasal-pasalnya dan kalau pun ada ancaman hukuman itu hanya beberapa tahun saja.

Sebetulnya hukum yang perlu dikedepankan itu adalah bukan berdasarkan prosedural belaka tapi bagaimana keadilan itu ditegakkan, sebagaimana dikatakan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud M.D. dalam acara keagamaan di salah satu stasiun siaran TV swasta pada Minggu, 21 Februari 2010.

Telah puluhan tahun kita terbiasa hidup tanpa aturan yang baik, dan bila perbaikan demi perbaikan dimulai dari sekarang paling tidak masih perlu satu atau dua generasi lagi untuk bisa mencapai tertib hukum di negeri kita ini. Tapi tentunya hal ini harus dilakukan dari sekarang oleh seluruh elemen masyarakat agar kelak tidak lagi akibat sanksi hukum menjadikan kita sangsi akan hukum.

| 21 Februari 2010 | samidirijono | arsitek |

Tidak ada komentar

Silakan isi komentar Anda di sini, jangan lupa sertakan nama atau e-mail

Diberdayakan oleh Blogger.