Jade of Equator
Memenuhi undangan seorang kawan untuk hadir di acara penutupan pameran fotografi Singkawang "Jade of Equator" yang diselenggarakan di Galeri Salihara, Jakarta ternyata bisa menambah wawasan tersendiri.
Pameran yang telah berlangsung sejak tanggal 24 Januari 2010 itu ditutup dengan menampilkan acara pagelaran kesenian tradisional daerah Singkawang, Kalimantan Barat yang dipadu dengan pelaksanaan lomba fotografi, ini sungguh menjadi daya tarik tersendiri khususnya bagi para penggemar fotografi dan juga bagi para pengunjung yang hadir di sana.
Kesenian tradisional yang ditampilkan memperagakan ilmu kekebalan tubuh dengan diiringi tabuhan genderang dan bunyi gemerincing giring-giring yang dipakai oleh para pemain ternyata bisa membangun suasana yang diinginkan.
Dalam salah satu aksinya para pemain memperagakan ilmu kekebalan tubuh yang dimiliki dengan beratraksi pada sebuah benda berupa kursi. Namun yang membedakan kursi ini dari kursi pada umumnya adalah bahwa ambalan tempat duduk kursi ini telah diganti dengan tiga bilah benda bermata tajam berbentuk golok tanpa gagang, pada sandaran ditempatkan pula sebilah benda tajam dengan posisi tegak, sedangkan pada lengan kursi kiri dan kanan dipasangi masing-masing sebilah benda tajam lainnya.
Atraksi lainnya adalah melakukan gerakan mengiris-iris pipi atau pun lidah dengan mandau--senjata tradisional suku dayak. Pada pipi dan kuping beberapa pemain bahkan ada yang ditancapkan hingga tembus oleh benda tajam berupa kawat yang berujung lancip dan satu orang pemain ditusuk pipinya dengan yang berdiameter kira-kira 1 cm.
Mengerikan memang dan tidak semua orang sanggup melihat pagelaran seperti itu. Namun tidak demikian halnya dengan para fotografer, mereka seperti terkena dampak ilmu magis sehingga sudah seperti orang kerasukan juga tampaknya, mereka tiada henti melakukan bidikan-bidikan melalui kameranya ke arah para pemain guna diabadikan untuk diikutsertakan dalam lomba fotografi, setelah mereka seleksi sendiri menjadi beberapa foto yang menjadi karya andalan. Rintik hujan yang turun pun tidak menghalangi semangat para fotografer dalam membidik dan mengejar buruannya masing-masing untuk mendapatkan momen yang terbaik. Cukup sulit memang mengambil momen terbaik dalam suasana yang sedemikian hiruk-pikuk oleh lebih dari seratus fotografer yang saling berebut mengejar buruannya masing-masing.
Tanah air kita yang terdiri dari bermacam suku dan budaya ini memang mempunyai bentuk-bentuk kesenian dan permainan ketangkasan yang beraneka ragam pula, yang serupa ini seperti debus, kuda lumping, reog, atau lainnya seperti tari-tarian, karapan sapi, pacu jali, yang bila dikemas dengan baik tentunya dapat dijadikan daya tarik wisata bagi daerah masing-masing, di tambah dengan dukungan alam kita yang juga indah.
Pemerintah tidak perlu mengambil alih semuanya sebagaimana yang selama ini selalu dilakukan, pemerintah dari tingkat tertinggi hingga terendah cukup sebagai fasilitator dan promotor. Pada tingkatan yang lebih tinggi mengoordinasikan yang di bawahnya demikian seterusnya hingga yang terendah, dengan cara bergotong royong dan bahu membahu seperti itu maka secara keseluruhan akan bisa terkoordinir dengan baik. Berbagai kegiatan yang terdapat di tanah air bisa diagendakan dan direncanakan secara baik dalam satu paket kalender kegiatan tanah air, masing-masing daerah pasti punya agenda yang berbeda dan tidak perlu disamakan, yang perlu adalah dipromosikan bersama dalam satu kalender kegiatan.
Dengan demikian maka wisatawan akan tahu di daerah mana ada kegiatan apa dan kapan waktunya, jadi mereka bisa merancang jadwal dan tujuan berwisata dengan jelas. Dan agar lebih berbobot, banyak hal lain yang masih harus dibenahi sebelum akhirnya kita bisa mencanangkan sebagai tahun kunjungan wisata.
Maju terus Indonesiaku!
| 31 Januari 2010 | samidirijono |
Leave a Comment